Background

Kebebasan Penulis Buku Dapat Menyalahi Hukum

     Sudah banyak karya-karya buku yang beredar di masyarakat, diantara buku-buku yang dijual bebas tersebut memuat konten yang berhaluan komunisme, seperti Lekra Tidak Membakar Buku, Dalih Pembunuhan Massal, dan Enam Jalan Menuju Tuhan. Buku yang dianggap bermuatan kriminal tidak bisa lepas dari adanya penulis atau pencipta. Jika buku itu mengandung tindak kriminal, seperti penghasutan, penghinaan, asusila, dan sebagainya, pelakunya perlu diperiksa terlebih dahulu. Lalu jika divonis bersalah, buku itu bisa menjadi barang bukti kejahatan yang dapat disita dan dimusnahkan.
     Pada perkembanganya Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya membatalkan Undang-Undang Nomor 4/PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Menggangu Ketertiban Umum. Putusan MK tersebut sebenarnya terkait dengan kebijakan kejaksaan dalam merampas buku-buku berhaluan komunisme. MK menyatakan, undang-undang itu sudah tidak lagi berkekuatan hukum mengikat. Karena itu, kejaksanaan tidak bisa lagi serta-merta melarang buku tanpa putusan pengadilan.
     Memang, dalam perspektif hukum pidana, suatu objek atau barang dapat dijadikan barang bukti kejahatan bila telah terjadi suatu peristiwa pidana, tapi sebuah karya tidak sepatutnya diperlakukan sama dengan alat-alat bukti kejahatan lainnya yang memiliki daya rusak langsung bagi masyarakat. Misalnya, buku porno, VCD porno, miras dan narkoba. Jadi, penyitaan dan pemusnahan alat bukti tindak pidana oleh aparat harus mengacu kepada undang-undang, bukan kepada keputusan jaksa agung semata. Sebagai negara hukum, keputusan jaksa agng tidak boleh melampaui ketentuan hukum acara pidana dalam menyatakan  sesuatu objek sebagai barang bukti kejahatan. Pelarangan dan pemusnahan buku tanpa melalui proses peradilan merupakan pelanggaran hak konstitusional di negara hukum.

Categories: Share

Leave a Reply